Perlu Pengawasan Harga Cabai untuk Pengendalian Inflasi Di Sumut

MEDAN – Wakil Gubernur (Wagub) Sumatera Utara (Sumut), Musa Rajekshah menyebutkan perlu adanya pengawasan pergerakan harga, khususnya cabai yang mempunyai andil terbesar mempengaruhi inflasi di Sumut, yakni sebesar 0,91%. Pengawasan harga cabai perlu dilakukan mulai dari saat panen di tingkat petani hingga di pasaran.

Apalagi, harga cabai di provinsi lain relatif lebih tinggi dari Sumut. Sehingga banyak cabai asal Sumut yang dijual ke provinsi lain. Akibatnya, pasokan cabai di daerah ini menjadi langka dan harganya cenderung naik.

“Ini yang menjadi tugas kita. Bagaimana komoditi kita ini tidak keluar ke provinsi lain. Bagaimana kita sebagai pemerintah bisa membantu mengawasi harga,” ucap Musa Rajekshah saat memimpin rapat pengendalian inflasi, khsususnya cabai, bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), di ruang FL Tobing, Kantor Gubernur Sumut, Selasa (6/11/2018).

Dia juga mengatakan, perlu adanya kerjasama dalam pengendalian inflasi di Sumut. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut tidak bisa bekerja sendiri dan perlu dukungan dari unsur Forkopimda Sumut. Salah satunya adalah kepolisian dalam pengawasan harga di lapangan.
Selain itu, kepada para petani, menurutnya, juga perlu diberikan pengetahuan dan pembinaan untuk meningkatkan produksi komoditas tanaman, khususnya cabai.

“Tidak hanya sebatas berserah diri kepada alam, yang di daerah kita hanya dua iklim. Harus diikuti juga dengan teknologi yang berkembang,” ujarnya.

Sebelumnya dipaparkan, beberapa komoditas yang banyak mempengaruhi inflasi, menurut data dari Bank Indonesia Sumut, yakni bawang merah, beras, cabai merah, cabai rawit, daging ayam dan angkutan udara. Cabai merah tercatat memiliki andil terbesar terhadap inflasi sebesar 0,91%.

Pjs Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumut Hilman Tisnawan mengatakan bahwa di TPID dalam pengendalian inflasi ada beberapa yang sudah dirumuskan, yaitu meliputi jangka panjang dan jangka pendek. Jangka pendek misalnya seperti operasi pasar. Sedangkan untuk yang panjang yaitu upaya mempercepat pembentukan BUMD.

“Seperti di TPID Kota Medan PD Pasar Jaya sehingga bisa mengawasi harga,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Tisnawan, membangun sistem bantuan kepada petani. Seperti yang diketahui bahwa pemerintah sering memberi bantuan alat-alat sarana produksi dan benih. Tetapi keberlangsungannya tidak ada. “Oleh karenanya, ke depan polanya diubah menjadi membina petani bagaimana mereka melakukan kelembagaannya secara modern. Sehingga petani itu benar-benar menjadi petani, bukan hanya bergantung kepada bantuan. Setelah dibina mereka diajari mencatat keuangan, kapan mereka tanam, kapan mereka panen. Dan akhirnya menjamin produksi,” katanya.

Menurutnya, TPID juga merumuskan upaya untuk memperkuat hilirisasi. Seperti cabai, kalau produksi melimpah, problemnya adalah tidak ada yang menampung hasil panen, sehingga harga murah. “Hilirasasinya seperti sambal olahan. Yang bisa mengatasi jika produksinya melimpah,” sebutnya.- (rel/hms)

print

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *